IDEN
Spin-Off Menghantui Pelaku Industri Perbankan
24 November 2020

Jakarta, KNEKS - Kewajiban unit usaha syariah (UUS) perbankan untuk memisahkan diri dari induknya atau spin-off mengikuti aturan yang dibuat regulator masih menghantui pelaku industri perbankan.

Pasalnya Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menetapkan bahwa UUS yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional (BUK) harus melakukan spin-off selambat-lambatnya 15 tahun setelah penerbitan undang-undang. Dengan kata lain, UUS harus terpisah dari induk BUK sebelum tahun 2023 berakhir.

Kewajiban ini juga berlaku untuk UUS yang sudah memiliki nilai aset 50 persen dari total nilai bank induknya. Jika kewajiban ini tidak diterapkan, maka pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini, dapat mencabut izin usaha Sertifikat Badan Usaha (PBI nomor 11/10 / PBI / 2009 pasal 43 (1)).

Pandemi Covid-19 kian mempersulit persiapan UUS untuk spin-off. Tekanan ekonomi dari Covid-19 semakin membuat pelaku industri perbankan kesulitan untuk melaksanakan kewajiban tersebut.

Direktur Jasa Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Taufik Hidayat mengatakan KNEKS menilai dari 20 UUS yang ada saat ini, terdapat 9 hingga 12 UUS masih belum siap menghadapi deadline spin-off tahun 2023 atau sekitar 50 persen dari jumlah UUS di Indonesia. Jumlah tersebut didominasi oleh UUS Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Penilaian kesiapan UUS bisa dilihat melalui indikator total aset, modal inti, dan tingkat kesehatan bank yang dipantau per 2019 dan 2020.

Kendala yang muncul dalam mempersiapkan spin-off akibat pandemi pun tak terhindarkan. Kondisi pandemi memaksa bank induk harus melakukan pencadangan sebagai akibat dari restrukturisasi kredit yang berpotensi jatuh menjadi Non-Performing Loan (NPL) setelah masa relaksasi berakhir.

“Hal ini akan memberatkan BUK ketika harus menyetor modal kepada UUS yang di-spin-off pada masa recovery (paska pandemi). Walaupun batas minimal modal BUS sebesar Rp500 milyar, namun untuk bisa bersaing dalam industri perbankan, BUK paling tidak harus menyetorkan modal kepada BUS baru minimal Rp1 triliun,” jelasnya.

Taufik mengungkapkan dalam beberapa kesempatan, UUS menyampaikan keberatannya terkait kewajiban spin-off yang dibatasi oleh waktu, baik ada atau maupun tidak adanya pandemi.

Terlebih UUS sebetulnya relatif lebih efisien dibandingkan BUS berdasarkan mayoritas penilaian rasio keuangan. Selain itu, kebijakan mewajibkan spin-off juga akan menghasilkan banyak BUS dengan aset dan modal yang kecil, sehingga kontraproduktif dengan tren penguatan industri perbankan melalui skema konsolidasi dan peningkatan modal inti menjadi minimum Rp3 triliun pada tahun 2022.

“Dalam kondisi pandemi, ketidakstabilan bisnis bank induk membuat keputusan besar seperti spin-off menjadi sulit dilakukan,” ujar Taufik.

Agar spin-off dapat berjalan dengan baik, menurut Taufik, UUS perlu menyiapkan beberapa hal. Pertama, memiliki modal inti minimal Rp1 Triliun. Jika ingin bersaing lebih baik, maka sebaiknya Bank Umum Syariah (BUS) memiliki modal inti minimal Rp3 Triliun. Hal itu sesuai usulan modal minimal Rp3 triliun pada 2022 oleh OJK.

Kedua, memiliki total aset yang cukup. Indikator total aset yang cukup dikembalikan kepada masing-masing bank, salah satunya bisa menggunakan indikator proporsi aset terhadap bank induk.

Ketiga, memiliki tren tingkat kesehatan bank dengan predikat sangat sehat. Keempat, memiliki infrastruktur yang mendukung akselerasi bisnis BUS, termasuk kesiapan teknologi dan sumber daya manusia (SDM).

Kelima, memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan induknya sehingga dapat melakukan sinergi (leveraging) dalam berbagai lini, kecuali dalam hal struktur manajemen dan permodalan.

KNEKS berharap keputusan spin-off sebaiknya diserahkan kepada corporate action masing-masing bank, bukan atas amanat undang-undang. Hal ini karena setiap UUS membutuhkan treatment dan timeline yang berbeda dalam pengembangan bisnisnya, sehingga sebaiknya tidak diatur seragam terkait waktu spin-off.

UUS diharapkan tetap bisa memanfaatkan skema full-leveraged model dan struktur permodalan dari bank induknya, sehingga secara gradual dapat meningkatkan skala bisnis sebelum spin-off menjadi BUS.

“Namun demikian, perlu didorong skema penguatan UUS sekaligus insentif bagi UUS yang melakukan spin-off, agar tidak terjadi status quo apabila kebijakan kewajiban spin-off bagi UUS disesuaikan,” tutur Taufik.

Senada dengan itu, Direktur UUS Bank Permata Herwin Bustaman juga menyatakan harapannya agar kebijakan spin-off bisa diubah. Apalagi saat ini pemerintah tengah terkonsentrasi pada penyelesaian masalah Covid-19.

“Dari Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) sudah dimintakan untuk dipertimbangkan mengenai spin-off ini, karena mengingat BUK-BUK sedang fokus untuk menyelesaikan potensi kredit-kredit yang akan menjadi masalah di 2021 atau habis masa berlaku relaksasi,” ungkap Pengurus DPP Asbisindo ini.

Tapi jika memang UU kebijakan spin-off ini tidak berubah, mau tidak mau UUS Bank Permata harus siap. UUS Bank Permata akan melakukan beberapa persiapan untuk itu. Pertama dari segi SDM yang harus disiapkan. Kedua, dari segi infrastruktur seperti digital banking.

Meski begitu, jika diberikan opsi, Herwin menyampaikan, spin-off ini sebaiknya diserahkan ke keputusan bisnis masing-masing bank, mau atau tidak spin-off. “Jadi jangan berdasarkan tenggang waktu, tapi berdasarkan keputusan bisnis,” harapnya.

Penulis: Andika & Aldi
Redaktur Pelaksana: Ishmah Qurratu'ain

Berita Lainnya